Sabtu, 21 Januari 2017

K.H. AHMAD DAHLAN

Biografi singkat KH Ahmad Dahlan 

            KH Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (nama lahir) merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, beliau terlahir dari keluarga “darah biru”. KH Ahmad Dahlan termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang dari Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah dari Maulna Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman atau Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kiyai Ilyas, Kiyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (KH Ahmad Dahlan). Beliau lahir di kampung Kauman, Yogyakarta,  yang merupakan “zona para bangsawan”. Muhammad Darwis ketika anak-anak dikenal memiliki keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan, sebagaimana anak-anak laki-laki pada umumnya, beliau juga memiliki kegemaran bermain layang-layang dan gasing. Muhammad Darwis selagi remaja adalah sosok santri Kauman yang bergulat dengan tradisi para priyayi Keraton Yogyakarta. Jadi tidak asing lagi bagi beliau yang biasa menyaksikan keramaian religius khas Jawa seperti “Grebeg Maulud”, “Grebeg Besar”, “Sekaten” dan lain sebagainya. Ahmad Dahlan adalah salah seorang dari santri yang kritis, beliau juga mengabdi kepada Sultan Yogyakarta. Sejarah menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan muda adalah salah seorang dari 12 ketib (khatib, pemberi khutbah jum’at) masjid besar Yogyakarta. Pendidikan agamanya diperoleh dari ayahnya sendiri yang juga seorang ketib, dan beberapa pondok pesantren di Jawa. Pada tahun 1896 ayah KH Ahmad Dahlan meninggal dunia (sedho), sesuai dengan adat yang berlaku di Keraton Yogyakarta, sebagai anak laki-laki yang paling besar, KH Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya. 

Sejarah Pendidikan KH Ahmad Dahlan
 
Pada tahun 1870 M,  Ahmad Dahlan belajar Ilmu Agama Islam tingkat lanjut. Beliau belajar fiqih pada KH Muhammad Saleh, belajar ilmu nahwu pada KH Muhsin, juga pelajaran lainnya pada KH Hamid Lempuyangan dan KH Muhammad Nur. Sebelum menunaikan ibadah haji yang pertama, jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan lebih banyak pada kitab-kitab Ahlusunnah Waljama’ah khususnya dalam ilmu Aqaid, sedangkan dari madzhab Syafi’i dalam ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu Tasawuf dari imam ghozalie. Antara tahun 1883 hingga 1888, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji pertama (diusia 15 tahun) lalu menetap di sana 5 tahun. Selama di tanah suci beliau belajar pada banyak Ulama, salah satunya Beliau mendalami Ilmu Hadits pada Syaikh Mahfud Al-tarmasie dan syekh Khoyad. Ilmu Qiro’ah didapat dari Syaikh Amin dan Sayid Bakri Syatho. Beliau juga belajar pada KH Dahlan Semarang. Beliau juga pernah belajar Ilmu Thib (pengobatan) racun binatang pada Syaikh Hasan. Selain dengan guru-guru di atas beliau juga pernah bersoialisasi dengan Syekh Ahmad Khotib dan Syaikh Jamil Jambek Minangkabau, dan Kiyai Najrowi dari Banyumas, Kiyai Nawawi Banten, dan para Ulama dari Arab. Ketia pulang ke kampungnya beliau membawa pemikiran baru yang beliau pelajari dari Makkah, dan mengganti nama dari Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan. Guru beliau yang paling terkenal adalah Syaikh Ahmad Khatib Al-minangkabawi seorang Ulama besar asal Minangkabau yang menetap di Makkah yang menjadi andalan Ulama-ulama Indonesia pada abad ke-20. Setelah belajar pada Syaikh Ahmad Khatib selama setahun, beliau meneruskan belajarnya ke Mesir (kairo), saat itu Mesir terkenal dengan kemunculan Ulama-ulama pembaharu seperti Sayid Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan muridnya, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Kh Ahmad Dahlan banyak mendapatpendidikan modern dalam pemikiran keislaman dari Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha. 

Pemikiran KH Ahmad Dahlan

            Sepulang dari pergi haji yang pertama, KH Ahmad Dahlan memang sudah cukup menghayati makna dan cita-cita pembaruan. Setelah pulang dari Mesir (Kairo) KH Ahmad Dahlan mengadakan pembaruan-pembaruan di lingkungan Masjid Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Namun usaha ini mendapat tentangan dari kalangan kaum tua (Ulama tradisional) yang merasa disepelekan oleh KH Ahmad Dahlan. Namun beliau tetap gigih untuk mengadakan pembaruan-pembaruan di lingkungan keraton. Peristiwa pembaruan itu terjadi pada tahun 1898, beliau mengundang 17 orang Ulama di sekitar Yogyakarta untuk bermusyawarah tentang arah kiblat di Surau milik keluarganya di Kauman. Musyawarah itu berlangsung hingga subuh tanpa menghasilkan suatu kesepakatan, tetapi diam-diam dua orang yang mendengarkan pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat. Hal ini mengejutkan para jama’ah shalat dzuhur, akibatnya kiyai penghulu HM Muhammad Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus garis tersebut dan mencari orang yang melakukan itu. Ternyata gagasan KH Ahmad Dahlan ini menimbulkan kegemparan yang cukup lama, Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat merasa tidak senang dan tidak setuju dengan gagasan tersebut, beliau memerintahkan agar masjid yang dibangun KH Ahmad Dahlan (dengan arah kiblat yang benar) segera dibongkar. Namun, pada akhirnya pendapat KH Ahmad Dahlan diterima dan diikuti oleh umat Islam. Disamping itu beliau berhasil mengorganisasi kawan-kawannya di daerah Kauman untuk bergotong-royong memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat dengan membersihkan jalan dan parit-parit (Bakti sosial).
            Pada tahun 1903 KH Ahmad Dahlan bertolak kembali ke Makkah dan menetap di sana selama 2 tahun, beliau memperdalam ilmu agamanya kepada guru-guru yang telah mengajarinya saat haji pertama. Selain itu, selama beliau bermukim di Makkah juga mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama-ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi. Ulama-ulama itu antara lain Syaikh Ahmad Khatib, Kiyai Nawawi dari Banten, Kiyai Abdullah dari Surabaya, dan Kiyai Faqih dari Maskumambang. Pada masa itu pula KH Ahmad Dahlan sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Khatibyang juga guru dari pendiri NU, KH Hasyim As’arie.
            Sepulang dari Makkah beliau menikah dengan Siti Walidah (sepupunya sendiri) seorang putri dari Kiyai Penghulu Haji Fadhil. Yang terkenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri organisasi Aisyiyah. Dari perkawinan tersebut KH Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Selain itu beliau juga pernah menikahi Nyai Abdullah (janda H Abdullah), juga pernah menikah dengan Nyai Rum (adik Kiyai Munawwir Krapyak), KH Ahmad Dahlan juga pernah menikah dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu Cianjur) dan dikaruniai putri bernama Dandanah. Beliau juga pernah menikah dengan Nyai Yasin dari Pakualaman, Yogyakarta.
Budi Utomo berdiri pada 20 Mei 1908, Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan terdorong oleh rasa kebangsaan dan keinginan untuk mempelajari tata organisasi, dan akhirnya beliau masuk organisasi Budi Utomo pada tahun 1909 dan menjadi salah seorang pengurusnya. Beliau memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya, dengan begitu beliau mengharapkan agar dapat memberikan pelajaran agama Islam di sekolah pemerintah, karena pada umumnya anggota Budi Utomo bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan kantor-kantor pemerintah. Beliau berharap agar guru-guru yang diajarnya dapat meneruskan mengajar agama Islam kepada murid-murid mereka pula. Ternyata pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan membuahkan hasil, guru-guru yang diajar beliau menyarankan agar KH Ahmad Dahlan membuka sekolah .
KH Ahmad Dahlan mencari pengikut bagi penyiarannya di kalangan Priyayi muda, beliau bergabung dengan Budi Utomo dan memberikan pelajaran Islam ekstrakurikuler pada para pelajar Kweek School Gubermen (Sekolah Pendidikan Guru) di Jetis, Yogyakarta. Beliau juga mengajar di OSVIA (Sekolah Pamong Praja) di Magelang.
Pada tahun 1911 keinginan KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum dapat terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8 orang siswa, yang bertempat di ruang tamu rumah beliau, dan beliau sendiri yang mengajar secara langsung. Pada tahap awal proses belajar-mengajar belum berjalan begitu lancar, dikarenakan adanya pemboikotan dari masyarakat sekitar dan juga para siswa tersebut jarang masuk sekolah. Karena hal tersebut, KH Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah siswa-siswanya dan meminta mereka untuk masuk sekolah kembali. Kegigihan perjuangan KH Ahmad Dahlan akhirnya membuahkan hasil setelah satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1 desember 1911 sekolah yang didirikan beliau diresmikan dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dengan jumlah  29 siswa, enam bulan kemudian siswa tersebut bertambah menjadi 62 siswa yang belajar di sekolah tersebut.
Pada tahun 1911 M, jama’ah Khair mengadakan kongres yang memutuskan untuk mendatangkan guru-guru dari luar negeri. Guru pertama yang didatangkan yaitu Syaikh Ahmad Surkati, datang di Jakarta pada bulan Pebruari 1912 M, KH Ahmad Dahlan memiliki hubungan yang akrab dengan Syaikh Ahmad Surkati, beliau berdua bersepakat untuk berjuang di garis masing-masing. Syaikh Ahmad Surkati akan menggerakkan bangsa Arab di Indonesia agar berpikiran maju dan membantu perjuangan bangsa Indonesia. Begitu juga sebaliknya, KH Ahmad Dahlan akan berjuang membimbing umat Islam Indonesia ke arah kemajuan seperti yang dibuktikannya melalui organisasi Muhammadiyah. Seperti ulama-ulama lain, KH Ahmad Dahlan juga berdagang betik. Beliau sering pergi ke Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ke Sumatera Utara untuk urusan dagangnya. Disetiap kota yang dikunjungi, selain berdagang beliau juga menemui alim ulama di sana untuk bermusyawarah dan bertukar pikiran tentang ajaran agama dan keadaan umat Islam Indonesia. KH Ahmad Dahlan mengajak alim ulama untuk menilai pelaksanaan ajaran Islam, apakah telah sesuai dengan ketentuan Rasulullah atau belum. Demikian pula para alim ulama diajak untuk memperbaiki keadaan umat Islam serta meningkatkan pengetahuannya. Di antara para alim ulama tersebut ada yang setuju dan banyak pula yang tidak setuju.
Pada tanggal 18 Nopember 1912 M / 8 Dzulhijjah KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Beliau ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam, beliau ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits. Organisasi ini terdiri dari sembilan orang pengurus inti yaitu, KH Ahmad Dahlan sebagai ketua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, dan anggotanya Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Muhammad Fakih. Sembilan pengurus inti tersebut, sebagian besar abdi dalem santri. Tujuh diantaranya memiliki gelar kebangsawanan (Mas atau Raden), tiga diantaranya abdi dalem santri (satu Penghulu dan dua Ketib), dan dua dari pemerintahan umum (satu Carik dan satu Gebayan), semuanya memiliki gelar haji.
Sejak awal berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik, tetapi organisasi yang bersifat sosial dan bergerak dibidang pendidikan. KH Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah selama 11 tahun sampai akhir hayat beliau. Gagasan pendirian Muhammadiyah sempat mendapat resistensi baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. KH Ahmad Dahlan juga tidak luput dari berbagai fitnah, tuduhan, dan hasutan. Beliau dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam, bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya, namun semua rintangan-rintangan tersebut dihadapi beliau dengan sabar. Pada tanggal 20 Desember 1912 M, KH Ahmad Dahlan mengajukan permohonan pada Pemerintahan Hindia Belanda untuk mendapatkan legitimasi badan hukum. Permohonan tersebut baru dikabulkan pada tahun 1914 M, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Namun izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Keterbatasan ruang gerak ini terjadi karena Pemerintahan Hindia Belanda khawatir akan perkembangan organisasi ini. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain-lain, telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan keinginan Pemerintahan Hindia Belanda. Untuk mengatasi hal tersebut, KH Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah yang berada di luar Yogyakarta memakai nama lain. Seperti Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, dan Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Siddiq-Amanah-Tabligh-Fathanah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan di Yogyakarta sendiri KH Ahmad Dahlan menganjukan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Muhammadiyah juga membimbing berbagai perkumpulan dan jama’ah, diantaranya Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu ‘Alalbirri, Ta’ruf Bima Kanu Wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, dan Syahratul Mubtadi.
Muhammadiyah juga mendirikan pusat-pusat pelayanan masyarakat, terutama masyarakat kecil, seperti PKU (Penolong Kesengsaraan Umum). Pada awalnya, PKU ditujukan untuk membantu penduduk sekitar Blitar-Kediri yang menderita akibat letusan Gunung Kelud pada tahun 1918 M. PKU inilah yang merupakan cikal bakal rumah sakit, poliklinik, maupun rumah bersalin, dan BKIA (Badan Kesehatan Ibu Dan Anak) Muhammadiyah yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Ketika memimpin Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan berhasil membuat semacam panti asuhan bagi anak yatim maupun pemeliharaan anak yatim dengan sistem non-panti serta kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya. Semua merupakan pengejawantahan konsep “da’wah bi al-hal” (dakwah dengan perbuatan) di samping “da’wah bi al-maqal” (dakwah dengan ujaran). Sampai kini lembaga-lembaga kemasyarakatan Muhammadiyah tetap eksis dan terus berkembang, baik jumlah maupun mutunya. Bisa dikatakan hampir disetiap kabupaten di Indonesia, pasti ada lembaga pengabdian Muhammadiyah, baik dalam lapangan pendidikan, dakwah maupun sosial.
Setelah Sarekat Islam berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912 (berasal dari Sarekat Dagang Islam 1911), KH Ahmad Dahlan masuk partai itu dan aktif di dalamnya, dari sinilah KH Ahmad Dahlan mempelajari persoalan politik. Dengan demikian terbinalah kerja sama antara muhammadiyah dengan Sarekat Islam yang berlangsung terus hingga KH Ahmad Dahlan meninggal dunia. Pada akhir tahun 1922 M, beliau mulai jatuh sakit yang dari waktu ke waktu menjadi semakin parah. Para dokter dan sahabatnya menasehati beliau agar istirahat, dan akhirnya beliau menurut beristirahat di Tretes, Jawa Timur. Dalam kesehatan yang semakin memburuk itu, beliau tidak menghentikan kegiatan dakwah dan sosialnya, meski dalam keadaan sakit beliau bersama masyarakat setempat berhasil mendirikan mushalla dan lembaga pendidikan. Sakit beliau ternyata bertambah parah, beliau harus dibawa kembali ke rumahnya di Yogyakarta. Kerena melihat sakit KH Ahmad Dahlan yang semakin parah, Nyai Dahlan beserta sahabat KH Ahmad Dahlan meminta dengan sangat agar KH Ahmad Dahlan bersedia beristirahat total. Tapi dengan halus KH Ahmad Dahlan menolak permohonan istri dan para sahabatnya. Taklama kemudian beliau meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923 M  dalam usia 55 tahun, dengan meninggalkan sejumlah warisan amal sosial, etos guru-murid, dan gagasan genial yang belum dipahami dengan baik oleh penerusnya. Beliau di makamkan di Karangkajen, Yogyakarta.
Organisasi wanita di daerah Kauman Yogyakarta sudah ada sejak tahun 1914 M, dengan nama “Sopo Tresno” yang bergerak dibidang sosial. Berdirinya organisasi wanita tersebut adalah atas inisiatif KH Ahmad Dahlan dan Nyai Haji Ahmad Dahlan. Mereka berpendapat bahwa wanita juga mempunyai peranan dan dapat berprestasi apabila diberi kesempatan. Karena itulah KH Ahmad Dahlan dan Nyai Haji Ahmad Dahlan mengumpulkan para wanita daereh Kauman untuk mengadakan pengajian. Selain pengajian mereka juga diberi penerangan tentang pentingnya kaum wanita ikut serta memikirkan pendidikan masyarakat. Organisasi Sopo Tresno mulai mengasuh beberapa anak yatim, dan membantu Muhammadiyah dalam bidang sosial dan pendidikan, pada tahun 1917 “Sopo Tresno” diubah menjadi “Aisyiyah” sebagai suatu organisasi yang mempunyai peraturan dan pengurus yang tetap. Perubahan nama tersebut atas anjuran Haji Muchtar (seorang anggota Muhammadiyah).pada waktu itu Aisyiyah merupakan organisasi yang berdiri sendiri, terlepas dari Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1923 M, Aisyiyah menjadi bagian atau majelis dari Muhammadiyah. Dengan pengurus yang terdiri atas : Siti Badriah sebagai ketua, Siti Badilah sebagai sekretaris, Siti Aminah Barowi sebagai bendahara, Nyai Haji Abdullah, Siti Dalalah, Nyai Fatimah Wasool, Siti Wadingah, Siti Dawimah, Siti Busyro, mereka semua sebagai pembantu. Haji Muchtar sebagai pemberi bimbingan administrasi dan organisasi, dan KH Ahmad Dahlan sebagai pemberi bimbingan jiwa keagamaan. Sifat organisasi Aisyiyah adalah pembinaan dan pemeliharaan sesuai ajaran Islam, sesungguhnya muslim berkewajiban mendidik dan memelihara agama dan akhlaq seluruh keluarga terutama kaum wanita.
Pada tahun 1918 M, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi gerakan kepanduan “Hisbul Wathan”. Beliau mendirikan organisasi tersebut setelah melihat kepanduan Misi Kristen, Jeugd Padvinder Organisatie (JPO), di alun-alun Mangkunegaran, solo. Maksud didirikan Hisbul Wathan yaitu untuk mendidik para pemuda pecinta bangsa dan tanah air dengan dasar tuntunan Islam. Pakaian seragam terdiri atas celana warna biru tua yang berarti lautan, kemeja berwarna coklat berarti daratan, bertopi bambu melambangkan bagi tanah Indonesia yang kaya raya. Setiap pandu Hisbul Wathan melilitkan sapu tangan merah pada lehernya, yang berarti berani membela kebenaran dan tanah airnya. Simbol organisasi ini berbentuk sekuntum bunga melati. Pengurus pertama organisasi ini yaitu, Muchtar sebagai ketua, Rajid sebagai wakil ketua, Sumodirjo sebagai sekretaris, dan Abdul Hamid sebagai bendahara. Hisbul Wathan pernah diajak bergabung dengan Nederlandsche Indiche Padvinders Vereeniging (NIPV), tapi ajakan ini ditolak oleh Haji Fahruddin. Alasannya, bahwa Hisbul Wathan sudah mempunyai dasar sendiri yaitu Islam, dan sudah punya induk sendiri yaitu Muhammadiyah. Oleh sebab itu tidak perlu diatur oleh Nederlandsche Indische Padvinder yang berbau kolonial.
Setelah Sarekat Islam berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912 (berasal dari Sarekat Dagang Islam 1911), KH Ahmad Dahlan masuk partai itu dan aktif di dalamnya, namun pada tahun 1926 terjadi suatu masalah, Sarekat Islam melarang para anggotanya untuk masuk Muhammadiyah. Peristiwa ini karena politik adu domba yang dilakukan oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Secara formal Muhammadiyah memang bukan partai politik, tetapi seringkali gerakannya bercorak politik. Pada tahun 1924 M, ketika Sarekat Islam diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia dan kedudukannya dipindahkan ke Yogyakarta, hubungan antara Partai Sarekat Islam dengan Muhammadiyah erat. Haji Agus Salim ketua Partai Sarekat Islam Indonesia sangat erat hubungannya dengan Haji Fakhruddin, pemimmpin Muhammadiyah yang menjabat sebagai bendahara. Namun pada tahun 1926-1927 M, timbul ketegangan antara Muhammadiyah dengan Partai Sarekat Islam Indonesia. Ketegangan ini disebabkan oleh fitnah dan hasutan dari pihak ketiga, terutama dari Pemerintahan Hindia Belanda yang menjalankan politik devide et impera. Maksudnya agar kekuatan bangsa Indonesia menjadi lemah. Pemerintah Hindia Belanda merasa takut kalau bangsa Indonesia bersatu lalu melawan Pemerintahan Hindia Belanda. Ketegangan ini dimulai semenjak Haji Umar Said Cokroaminoto dan Haji Mansyur pulang dari Makkah mengunjungi Muktamar Alam Islam. Partai Sarekat Islam Indonesia Randublatung menyebarkan surat tertanggal 13 Agustus 1926 kepada penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. Dalam surat itu dinyatakan bahwa Muhammadiyah sengaja mematikan Partai Sarekat Islam Indonesia, sebab sudah terbukti bilamana Muhammadiyah berdiri disitu, Partai Sarekat Islam Indonesia mengalami kemunduran. Muhammadiyah sering menghasut Partai Sarekat Islam Indonesia karena berpolitik, dikatakan pula bahwa Muhammadiyah pernah meminta bantuan uang kepada pabrik gula yang ada di Yogyakarta untuk biaya pengiriman Mubalighin yang mengajar agama Islam di pabrik gula itu. Selain itu Muhammadiyah dituduh mendapat subsidi uang sebesar 24 gulden dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu itu suhu politik di Indonesia sedang menghangat. Timbul perbedaan antara pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia tentang bagaimana mengambil sikap terhadap Pemerintah Hindia Belanda, yaitu sikap non-kooperasi atau sikap kooperasi. Partai Sarekat Islam Indonesia dan Partai Nasional Indonesia menganut sikap non-kooperasi terhadap Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan Budi Utomo menganut sikap sebaliknya. Muhammadiyah sebagai organisasi tabligh, sosial, dan pendidikan tidak pernah menyatakan dirinya non-kooperasi atau kooperasi. Karena itu Muhammadiyah mau menerima subsidi keuangan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk membiayai sekolahnya, lalu dengan serta merta dikatakan oleh orang luar sebagai koperator. Istilah non-kooperasi dan kooperasi adalah istilah politik. Padahal Muhammadiyah tidak mengenal istilah tersebut. Dalam menerima subsidi itu Muhammadiyah menyadari bahwa subsidi itu sebenarnya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh umat Islam dan kekayaan tanah air Indonesia. Karena hal tersebut dan untuk mengkristalisasi dirinya sebagai partai politik, maka pada tahun 1927 M, Partai Sarekat Islam Indonesia menyatakan berlakunya disiplin partai, yang melarang anggota Partai Sarekat Islam Indonesia tidak boleh merangkap menjadi anggota Muhammadiyah. Dengan adanya disiplin partai, maka Haji Fakhruddin keluar dari Partai Sarekat Islam Indonesia, karena lebih memilih tetap di Muhammadiyah.
Secara resmi, sejak berdirinya hingga sekarang, Muhammadiyah bukan merupakan partai politik, namun sepanjang sejarah hidup dan perjuangannya, Muhammadiyah selalu ikut serta membela kepentingan agama, bangsa dan tanah air. Misalnya mengenai adanya “Guru Ordonantie” yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Muhammadiyah bersama organisasi lainnya seperti Partai Sarekat Islam Indonesia, Partai Pendidikan Nasional (PNI Baru), Taman Siswa, Budi Utomo, Partai Indonesia, dan Isteri Sedar menentang guru ordonantie tersebut. Berkat perjuangan yang ulet dari organisasi-organisasi tersebut, akhirnya keluar surat sekretaris gubernemen No: 462 a/A, tanggal 18 Februari 1931 yang isinya membebaskan para mubaligh dari ordonantie guru tersebut. Pada tahun 1938 M, Muhammadiyah menentang adanya pajak potong hewan yang dikenakan bagi pemotong hewan qurban di setiap Idul Adha. Tuntutan ini berhasil dengan tidak dikenakannya pajak bagi pemotong qurban. Di samping itu Muhammadiyah juga menentang rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan ordonantie perkawinan bagi umat Islam. Sebagai anggota dari Al-Madjlisil Islam A’laa Indonesia (MIAI), Muhammadiyah menyokong tuntutan GAPI (Indonesia Berparlemen). Protes terhadap campur tangan Pemerintah Hindia Belanda dalam urusan agama Islam yang dipandang tidak pada tempatnya tersebut dibicarakan dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 tahun 1932 M di Ujung Pandang. Muhammadiyah selalu menjaga hidup di luar gelombang politik, tetapi terhadap campur tangan Pemerintah Hindia Belanda dalam urusan administrasi dan agama, tindakan Muhammadiyah boleh dikatakan sejalan dengan Partai Sarekat Islam Indonesia.
Padatahun 1932 M, Dr. Sukiman memisahkan diri dari Partai Sarekat Islam Indonesia dan mendirikan Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1936 M, Haji Agus Salim juga ikut memisahkan diri dari Partai Sarekat Islam Indonesia dan mendirikan partai baru dengan nama Penyedar, yang berhaluan kooperasi. Para pemimpin Islam menjadi sedih dan perihatin melihat Partai Sarekat Islam Indonesia mengalami perpecahan, lalu ingin mendirikan Partai Islam yang kuat dan mendapat dukungan dari seluruh umat Islam. Para pemimpin Islam kemudian mengirim surat kepada Partai Sarekat Islam Indonesia mengenai dua pokok persoalan. Pertama, supaya Partai Sarekat Islam Indonesia melepaskan sikap non-kooperasi dan hendaknya non-kooperasi ataupun kooperasi itu dijadikan taktik saja dan jangan menjadi prinsip yang kaku. Kedua, supaya Disiplin Partai terhadap Muhammadiyah dicabut. Terhadap pokok pertama, Partai Sarekat Islam Indonesia tetap menolak dan tidak menyetujui. Sementara terhadap pokok kedua, Partai Sarekat Islam Indonesia bersedia mempertimbangkannya. Selanjutnya diadakan beberapa kali persidangan dan yang terakhir yaitu sidang keempat, diadakan di rumah dr. Satiman pada tanggal 4 Desember 1938 di Solo. Sidang dihadiri para pemimpin Islam dan para ulama. Pada sidang keempat ini disepakati pembentukan partai baru bernama Partai Islam Indonesia dengan tujuan mempersiapkan rakyat Indonesia untuk mencapai kesempurnaan kedudukan agama Islam dan derajat umatnya.
Pengurus Partai Islam Indonesia terdiri atas: Wiwoho (ketua), dr. Sukiman Wirwisanjoyo (Wakil Ketua), Mr. Ahmad Kasmat (Sekretaris I), Wali Alfatah (Sekretaris II), dr. Sukardi (Bendahara I), Dan Haji Abdul Hamid (Bendahara II). Sementara anggotanya adalah Haji Mas Mansyur, Haji Hadikusumo, Haji Abdul Kahar Muzakir, Haji Muhammad Faried, dan Haji Rosyidi BA. Kelihatan jelas, bahwa banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang duduk dalam pimpinan Partai Islam Indonesia. Dalam waktu yang singkat sudah berdiri cabang-cabang di seluruh Indonesia dan kebanyakan terdiri atas orang-orang Muhammadiyah. Pada tahun 1939 M, Muhammadiyah sebagai anggota MIAI mengirimkan utusan ke Jepang yang terdiri atas Prof. Haji Kahar Muzakir, Prof Haji M. Farid Ma’ruf, Mr. Ahmad Kasmat, dan lain-lain untuk memenuhi undangan The Tokyo Moslem Community and The Dai Nippon Kaikyo Kyokoi, untuk menghadiri The Islamic Exhibition di Tokyo dan Osaka.
Ditinjau dari masa kelahirannya Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang dilahirkan di masa kebangkitan Nasional bangsa Indonesia. Karena itu Muhammadiyah membawa sifat-sifat sebagai perintis. Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang dilahirkan sebagai manifastasi dari kehendak dan tuntutan zaman, di mana zaman kehidupan agama Islam menunjukkan kepudaran dan kesuraman. Demikian pula umat Islam yang hidup dalam kekolotan dan kebekuan. Karena itu kelahiran Muhammadiyah bertugas menghilangkan suasana yang penuh kesuraman dan kepudaran yang menyelimuti kehidupan agama Islam di Indonesia. Ketika diteliti, maka sebenarnya sebab-sebab KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah adalah sebagai berikut.
1.      Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Qur’an dan Hadits, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat. Akibatnya umat Islam tidak merupakan suatu golongan yang terhormat dalam masyarakat, senada dengan agama Islam yang tidak lagi memancarkan sinar kemurniannya.
2.      Penjajahan yang menyebabkan keadaan masyarakat Islam sangat menyedihkan, baik pada kehidupan politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
3.      Tidak adanya persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, terjadi akibat dari tidak tegaknya “Ukhuwwah Islamiya” serta tidak adanya organisasi yang kuat.
4.      Kegagalan lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam menghasilkan kader-kader Islam, karena tidak dapat lagi memenuhi tuntutan zaman.
5.      Adanya tantangan dan sikap acuh tak acuh di kalangan intelektual kita terhadap agama Islam, yang oleh mereka sudah dianggap kolot.
6.      Adanya pengaruh dan dorongan gerakan pembaruan dalam dunia Islam.
Sebagai seorang yang demokratis, KH Ahmad Dahlan juga memfasilitasi kebebasan berpendapat bagi para anggota Muhammadiyah. Hal ini dilakukan untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin. Selama hidup beliau dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diadakan 12 kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai dengan istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum). Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui melalui pembaruan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dengan surat Keputusan Presiden No. 657 Tahun 1961, pada tanggal27 Desember 1961. Adapun dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut.
1.      KH Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2.      Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, beliau telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsa. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar Iman dan Islam.
3.      Dengan organisasi beliau, Muhammadiyah telah memelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4.      Dengan organisasi beliau, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah memelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan befungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Pada era KH Ahmad Dahlan, prinsip-prinsip pembaruan Muhammadiyah meliputi:
1.      Penentuan arah Makkah yang tepat dan dengan demikian penyesuaian arah kiblat, berbeda debgan kebiasaan umum untuk shalat ke arah barat.
2.      Penggunaan Ilmu Astronomi untuk menetapkan mulai dan akhir bulan puasa (hisab), hal ini berbeda dengan pengamatan visual terhadap pergerakan bulan oleh para petugas keagamaan.
3.      Diselenggarakannya shalat Id di lapangan terbuka pada hari-hari besar Islam, Idul Fitri dan Idul Adha, berbeda dengan shalat tradisional dalam ruang terbatas di masjid-masjid.
4.      Pengumpulan dan pembagian zakat (zakat fitrah) dan hewan kurban pada hari-hari besar Islam tersebut oleh panitia khusus yang mewakili masyarakat muslim setempat. Ini berbeda dengan kebiasaan umum untuk memberi hak istimewa dalam hal ini kepada para pejabat dan fungsionaris keagamaan (penghulu, naib, kaum, modin, dan sebagainya).
5.      Penyampaian khutbah dalam suatu bahasa daerah setelah shalat Jum’at, dan tidak menyampaikannya dalam bahasa Arab saja.
6.      Penyederhanaan ritual dan upacara untuk kelahiran, khitanan, pernikahan, dan pemakaman, dengan menghapuskan unsur-unsur politeistik dari ritual dan upacara tersebut.
7.      Penyederhanaan bentuk kuburan, yang sebelumnya dihias secara berlebihan.
8.      Tidak menganjurkannya adanya ziarah ke makam para wali.
9.      Dihilangkannya anggapan mengenai kesaktian ulama tertentu dan akibat pemujaan yang berlebihan terhadap mereka.
10.  Digunakannya kerudung bagi orang dan anak perempuan, dan pemisahan bagi lelaki dan perempuan dalam pertemuan-pertemuan umum keagamaan.
Maksud dan tujuan organisasi Muhammadiyah pada waktu permulaan berdirinya, dirumuskan sebagai berikut.
1.      Menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW, kepada Penduduk Bumiputra, didalam residensi Yogyakarta.
2.      Memajukan hal agama Islam kepada para anggotanya.
3.      Sesudah Muhammadiyah berkembang di luar daerah Yogyakarta, dan dibeberapa daerah wilayah Hindia Belanda sudah berdiri beberapa cabang, maka maksud dan tujuanpun disempurnakan menjadi:
a.       Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya.
b.      Memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya.
Namun setelah kemerdekaan tepatnya pada tahun 1950 M, rumusan dan maksud tujuan disempurnakan. “maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Maksud dan tujuannya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Menegakkan, berarti membuat agar tegak dan tidak condong yaitu dengan memegang teguh, mempertahankan, membela dan memperjuangkan.
2.      Menjunjung tinggi, berarti membawa atau menjunjung di atas segala-galanya yaitu dengan cara mengamalkan, mengindahkan, dan menghormatinya.
3.      Agama Islam, yaitu agama yang dibawa para Rasul sejak Nabi Adam AS, hingga Nabi Muhammad SAW. Sebagai nabi penutup. Segenap isi ajaran yang dibawa oleh para Rasul tersebut, sudah tercakup dalam syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, berupa Al-Qur’an dan Hadits.
4.      Terwujud, berarti menjadi satu kenyataan akan adanya atau wujudnya.
5.      Masyarakat Islam, yaitu suatu masyarakat yang di dalamnya terlaksana tuntunan dan ajaran Islam. Baik bagi kehidupan dan penghidupan pribadinya, keluarganya maupun secara bersamanya.
6.      Sebenar-benarnya, berarti yang sungguh-sungguh benar, tidak palsu, bahwa demikianlah keadaan yang sebenarnya. Kata sebenar-benarnya dicantumkan untuk menghindari adanya anggapan umum yang salah terhadap beberapa praktik dan kenyataan yang semula dianggap sebagai masyarakat Islam, semata-mata karena sekelompok orang yang beragama Islam. Padahal belum tentu menjadi jaminan yang nyata kalau masyarakat yang beragama Islamkemudian menjadi masyarakat Islam, jika mereka belum dengan sungguh-sungguh menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam.
Namun dimasa pendudukan Jepang (1942-1945 M), segala bentuk pergerakan  diawasi dengan ketat termasuk Muhammadiyah, Jepang berusaha mengatur maksud dan tujuan Muhammadiyah. Oleh karena itu maksud dan tujuan Muhammadiyah disesuaikan dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, yaitu:
1.      Hendak menyiarkan Agama Islam, serta melatih hidup yang selaras dengan tuntunannya.
2.      Hendak melakukan pekerjaan kebaikan umum.
3.      Hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggota-anggotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar