KH
Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (nama lahir) merupakan anak keempat dari
tujuh bersaudara, beliau terlahir dari keluarga “darah biru”. KH Ahmad Dahlan
termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang dari
Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah dari
Maulna Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin atau Sunan Giri,
Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman atau Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo,
Kiyai Ilyas, Kiyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad
Darwis (KH Ahmad Dahlan). Beliau lahir di kampung Kauman, Yogyakarta, yang merupakan “zona para bangsawan”.
Muhammad Darwis ketika anak-anak dikenal memiliki keahlian membuat
barang-barang kerajinan dan mainan, sebagaimana anak-anak laki-laki pada
umumnya, beliau juga memiliki kegemaran bermain layang-layang dan gasing. Muhammad
Darwis selagi remaja adalah sosok santri Kauman yang bergulat dengan tradisi
para priyayi Keraton Yogyakarta. Jadi tidak asing lagi bagi beliau yang biasa
menyaksikan keramaian religius khas Jawa seperti “Grebeg Maulud”, “Grebeg
Besar”, “Sekaten” dan lain sebagainya. Ahmad Dahlan adalah salah seorang dari
santri yang kritis, beliau juga mengabdi kepada Sultan Yogyakarta. Sejarah
menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan muda adalah salah seorang dari 12 ketib
(khatib, pemberi khutbah jum’at) masjid besar Yogyakarta. Pendidikan agamanya
diperoleh dari ayahnya sendiri yang juga seorang ketib, dan beberapa pondok
pesantren di Jawa. Pada tahun 1896 ayah KH Ahmad Dahlan meninggal dunia
(sedho), sesuai dengan adat yang berlaku di Keraton Yogyakarta, sebagai anak
laki-laki yang paling besar, KH Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin
menggantikan ayahnya.
Sejarah Pendidikan KH Ahmad Dahlan
Pada
tahun 1870 M, Ahmad Dahlan belajar Ilmu
Agama Islam tingkat lanjut. Beliau belajar fiqih pada KH Muhammad Saleh,
belajar ilmu nahwu pada KH Muhsin, juga pelajaran lainnya pada KH Hamid
Lempuyangan dan KH Muhammad Nur. Sebelum menunaikan ibadah haji yang pertama,
jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan lebih banyak pada kitab-kitab Ahlusunnah
Waljama’ah khususnya dalam ilmu Aqaid, sedangkan dari madzhab Syafi’i dalam
ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu Tasawuf dari imam ghozalie. Antara tahun 1883 hingga
1888, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji pertama (diusia 15 tahun) lalu
menetap di sana 5 tahun. Selama di tanah suci beliau belajar pada banyak Ulama,
salah satunya Beliau mendalami Ilmu Hadits pada Syaikh Mahfud Al-tarmasie dan
syekh Khoyad. Ilmu Qiro’ah didapat dari Syaikh Amin dan Sayid Bakri Syatho.
Beliau juga belajar pada KH Dahlan Semarang. Beliau juga pernah belajar Ilmu
Thib (pengobatan) racun binatang pada Syaikh Hasan. Selain dengan guru-guru di
atas beliau juga pernah bersoialisasi dengan Syekh Ahmad Khotib dan Syaikh
Jamil Jambek Minangkabau, dan Kiyai Najrowi dari Banyumas, Kiyai Nawawi Banten,
dan para Ulama dari Arab. Ketia pulang ke kampungnya beliau membawa pemikiran
baru yang beliau pelajari dari Makkah, dan mengganti nama dari Muhammad Darwis
menjadi Ahmad Dahlan. Guru beliau yang paling terkenal adalah Syaikh Ahmad Khatib
Al-minangkabawi seorang Ulama besar asal Minangkabau yang menetap di Makkah
yang menjadi andalan Ulama-ulama Indonesia pada abad ke-20. Setelah belajar
pada Syaikh Ahmad Khatib selama setahun, beliau meneruskan belajarnya ke Mesir
(kairo), saat itu Mesir terkenal dengan kemunculan Ulama-ulama pembaharu
seperti Sayid Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan muridnya, Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha. Kh Ahmad Dahlan banyak mendapatpendidikan modern dalam
pemikiran keislaman dari Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha.
Pemikiran KH
Ahmad Dahlan
Sepulang
dari pergi haji yang pertama, KH Ahmad Dahlan memang sudah cukup menghayati
makna dan cita-cita pembaruan. Setelah pulang dari Mesir (Kairo) KH Ahmad
Dahlan mengadakan pembaruan-pembaruan di lingkungan Masjid Keraton Yogyakarta
dan sekitarnya. Namun usaha ini mendapat tentangan dari kalangan kaum tua
(Ulama tradisional) yang merasa disepelekan oleh KH Ahmad Dahlan. Namun beliau
tetap gigih untuk mengadakan pembaruan-pembaruan di lingkungan keraton. Peristiwa
pembaruan itu terjadi pada tahun 1898, beliau mengundang 17 orang Ulama di
sekitar Yogyakarta untuk bermusyawarah tentang arah kiblat di Surau milik
keluarganya di Kauman. Musyawarah itu berlangsung hingga subuh tanpa
menghasilkan suatu kesepakatan, tetapi diam-diam dua orang yang mendengarkan
pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di
depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat. Hal ini
mengejutkan para jama’ah shalat dzuhur, akibatnya kiyai penghulu HM Muhammad
Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus garis tersebut dan mencari
orang yang melakukan itu. Ternyata gagasan KH Ahmad Dahlan ini menimbulkan
kegemparan yang cukup lama, Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat merasa tidak
senang dan tidak setuju dengan gagasan tersebut, beliau memerintahkan agar
masjid yang dibangun KH Ahmad Dahlan (dengan arah kiblat yang benar) segera
dibongkar. Namun, pada akhirnya pendapat KH Ahmad Dahlan diterima dan diikuti
oleh umat Islam. Disamping itu beliau berhasil mengorganisasi kawan-kawannya di
daerah Kauman untuk bergotong-royong memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat
dengan membersihkan jalan dan parit-parit (Bakti sosial).
Pada
tahun 1903 KH Ahmad Dahlan bertolak kembali ke Makkah dan menetap di sana
selama 2 tahun, beliau memperdalam ilmu agamanya kepada guru-guru yang telah
mengajarinya saat haji pertama. Selain itu, selama beliau bermukim di Makkah
juga mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan,
termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama-ulama Indonesia
yang telah lama bermukim di Arab Saudi. Ulama-ulama itu antara lain Syaikh
Ahmad Khatib, Kiyai Nawawi dari Banten, Kiyai Abdullah dari Surabaya, dan Kiyai
Faqih dari Maskumambang. Pada masa itu pula KH Ahmad Dahlan sempat berguru
kepada Syaikh Ahmad Khatibyang juga guru dari pendiri NU, KH Hasyim As’arie.
Sepulang
dari Makkah beliau menikah dengan Siti Walidah (sepupunya sendiri) seorang
putri dari Kiyai Penghulu Haji Fadhil. Yang terkenal dengan nama Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri organisasi Aisyiyah. Dari
perkawinan tersebut KH Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak yaitu Djohanah,
Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Selain
itu beliau juga pernah menikahi Nyai Abdullah (janda H Abdullah), juga pernah
menikah dengan Nyai Rum (adik Kiyai Munawwir Krapyak), KH Ahmad Dahlan juga
pernah menikah dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu Cianjur) dan
dikaruniai putri bernama Dandanah. Beliau juga pernah menikah dengan Nyai Yasin
dari Pakualaman, Yogyakarta.
Budi
Utomo berdiri pada 20 Mei 1908, Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH
Ahmad Dahlan terdorong oleh rasa kebangsaan dan keinginan untuk mempelajari
tata organisasi, dan akhirnya beliau masuk organisasi Budi Utomo pada tahun
1909 dan menjadi salah seorang pengurusnya. Beliau memberikan pelajaran agama
kepada anggota-anggotanya, dengan begitu beliau mengharapkan agar dapat
memberikan pelajaran agama Islam di sekolah pemerintah, karena pada umumnya
anggota Budi Utomo bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah
dan kantor-kantor pemerintah. Beliau berharap agar guru-guru yang diajarnya
dapat meneruskan mengajar agama Islam kepada murid-murid mereka pula. Ternyata
pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh KH Ahmad Dahlan membuahkan hasil,
guru-guru yang diajar beliau menyarankan agar KH Ahmad Dahlan membuka sekolah .
KH
Ahmad Dahlan mencari pengikut bagi penyiarannya di kalangan Priyayi muda,
beliau bergabung dengan Budi Utomo dan memberikan pelajaran Islam
ekstrakurikuler pada para pelajar Kweek School Gubermen (Sekolah
Pendidikan Guru) di Jetis, Yogyakarta. Beliau juga mengajar di OSVIA (Sekolah
Pamong Praja) di Magelang.
Pada
tahun 1911 keinginan KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang
menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu
pengetahuan umum dapat terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8 orang
siswa, yang bertempat di ruang tamu rumah beliau, dan beliau sendiri yang
mengajar secara langsung. Pada tahap awal proses belajar-mengajar belum
berjalan begitu lancar, dikarenakan adanya pemboikotan dari masyarakat sekitar
dan juga para siswa tersebut jarang masuk sekolah. Karena hal tersebut, KH
Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah siswa-siswanya dan meminta
mereka untuk masuk sekolah kembali. Kegigihan perjuangan KH Ahmad Dahlan
akhirnya membuahkan hasil setelah satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1
desember 1911 sekolah yang didirikan beliau diresmikan dan diberi nama Madrasah
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dengan jumlah
29 siswa, enam bulan kemudian siswa tersebut bertambah menjadi 62 siswa
yang belajar di sekolah tersebut.
Pada
tahun 1911 M, jama’ah Khair mengadakan kongres yang memutuskan untuk
mendatangkan guru-guru dari luar negeri. Guru pertama yang didatangkan yaitu
Syaikh Ahmad Surkati, datang di Jakarta pada bulan Pebruari 1912 M, KH Ahmad
Dahlan memiliki hubungan yang akrab dengan Syaikh Ahmad Surkati, beliau berdua
bersepakat untuk berjuang di garis masing-masing. Syaikh Ahmad Surkati akan
menggerakkan bangsa Arab di Indonesia agar berpikiran maju dan membantu
perjuangan bangsa Indonesia. Begitu juga sebaliknya, KH Ahmad Dahlan akan
berjuang membimbing umat Islam Indonesia ke arah kemajuan seperti yang
dibuktikannya melalui organisasi Muhammadiyah. Seperti ulama-ulama lain, KH
Ahmad Dahlan juga berdagang betik. Beliau sering pergi ke Jawa Timur, Jawa
Barat, bahkan ke Sumatera Utara untuk urusan dagangnya. Disetiap kota yang
dikunjungi, selain berdagang beliau juga menemui alim ulama di sana untuk
bermusyawarah dan bertukar pikiran tentang ajaran agama dan keadaan umat Islam
Indonesia. KH Ahmad Dahlan mengajak alim ulama untuk menilai pelaksanaan ajaran
Islam, apakah telah sesuai dengan ketentuan Rasulullah atau belum. Demikian
pula para alim ulama diajak untuk memperbaiki keadaan umat Islam serta
meningkatkan pengetahuannya. Di antara para alim ulama tersebut ada yang setuju
dan banyak pula yang tidak setuju.
Pada
tanggal 18 Nopember 1912 M / 8 Dzulhijjah KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara.
Beliau ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam, beliau ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali
hidup menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits. Organisasi ini terdiri dari sembilan
orang pengurus inti yaitu, KH Ahmad Dahlan sebagai ketua, Abdullah Sirat
sebagai sekretaris, dan anggotanya Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad,
Jaelani, Akis, dan Muhammad Fakih. Sembilan pengurus inti tersebut, sebagian
besar abdi dalem santri. Tujuh diantaranya memiliki gelar kebangsawanan (Mas
atau Raden), tiga diantaranya abdi dalem santri (satu Penghulu dan
dua Ketib), dan dua dari pemerintahan umum (satu Carik dan satu Gebayan),
semuanya memiliki gelar haji.
Sejak
awal berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukanlah organisasi politik, tetapi organisasi yang bersifat
sosial dan bergerak dibidang pendidikan. KH Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah
selama 11 tahun sampai akhir hayat beliau. Gagasan pendirian Muhammadiyah
sempat mendapat resistensi baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. KH Ahmad Dahlan juga tidak luput dari berbagai fitnah, tuduhan, dan
hasutan. Beliau dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama
Islam, bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya, namun semua
rintangan-rintangan tersebut dihadapi beliau dengan sabar. Pada tanggal 20
Desember 1912 M, KH Ahmad Dahlan mengajukan permohonan pada Pemerintahan Hindia
Belanda untuk mendapatkan legitimasi badan hukum. Permohonan tersebut baru
dikabulkan pada tahun 1914 M, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22
Agustus 1914. Namun izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan
organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Keterbatasan ruang
gerak ini terjadi karena Pemerintahan Hindia Belanda khawatir akan perkembangan
organisasi ini. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain-lain, telah berdiri cabang Muhammadiyah.
Hal ini jelas sangat bertentangan dengan keinginan Pemerintahan Hindia Belanda.
Untuk mengatasi hal tersebut, KH Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan
agar cabang Muhammadiyah yang berada di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Seperti Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, dan Ahmadiyah di
Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Siddiq-Amanah-Tabligh-Fathanah
(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan di Yogyakarta
sendiri KH Ahmad Dahlan menganjukan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Muhammadiyah juga
membimbing berbagai perkumpulan dan jama’ah, diantaranya Ikhwanul Muslimin,
Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan
Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu ‘Alalbirri, Ta’ruf Bima Kanu
Wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, dan Syahratul Mubtadi.
Muhammadiyah
juga mendirikan pusat-pusat pelayanan masyarakat, terutama masyarakat kecil, seperti
PKU (Penolong Kesengsaraan Umum). Pada awalnya, PKU ditujukan untuk membantu
penduduk sekitar Blitar-Kediri yang menderita akibat letusan Gunung Kelud pada
tahun 1918 M. PKU inilah yang merupakan cikal bakal rumah sakit, poliklinik,
maupun rumah bersalin, dan BKIA (Badan Kesehatan Ibu Dan Anak) Muhammadiyah
yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Ketika memimpin Muhammadiyah, KH
Ahmad Dahlan berhasil membuat semacam panti asuhan bagi anak yatim maupun
pemeliharaan anak yatim dengan sistem non-panti serta kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan lainnya. Semua merupakan pengejawantahan konsep “da’wah bi
al-hal” (dakwah dengan perbuatan) di samping “da’wah bi al-maqal”
(dakwah dengan ujaran). Sampai kini lembaga-lembaga kemasyarakatan Muhammadiyah
tetap eksis dan terus berkembang, baik jumlah maupun mutunya. Bisa dikatakan
hampir disetiap kabupaten di Indonesia, pasti ada lembaga pengabdian
Muhammadiyah, baik dalam lapangan pendidikan, dakwah maupun sosial.
Setelah
Sarekat Islam berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912 (berasal dari Sarekat
Dagang Islam 1911), KH Ahmad Dahlan masuk partai itu dan aktif di dalamnya,
dari sinilah KH Ahmad Dahlan mempelajari persoalan politik. Dengan demikian
terbinalah kerja sama antara muhammadiyah dengan Sarekat Islam yang berlangsung
terus hingga KH Ahmad Dahlan meninggal dunia. Pada akhir tahun 1922 M, beliau
mulai jatuh sakit yang dari waktu ke waktu menjadi semakin parah. Para dokter
dan sahabatnya menasehati beliau agar istirahat, dan akhirnya beliau menurut
beristirahat di Tretes, Jawa Timur. Dalam kesehatan yang semakin memburuk itu,
beliau tidak menghentikan kegiatan dakwah dan sosialnya, meski dalam keadaan
sakit beliau bersama masyarakat setempat berhasil mendirikan mushalla dan
lembaga pendidikan. Sakit beliau ternyata bertambah parah, beliau harus dibawa
kembali ke rumahnya di Yogyakarta. Kerena melihat sakit KH Ahmad Dahlan yang
semakin parah, Nyai Dahlan beserta sahabat KH Ahmad Dahlan meminta dengan
sangat agar KH Ahmad Dahlan bersedia beristirahat total. Tapi dengan halus KH
Ahmad Dahlan menolak permohonan istri dan para sahabatnya. Taklama kemudian
beliau meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923 M dalam usia 55 tahun, dengan meninggalkan
sejumlah warisan amal sosial, etos guru-murid, dan gagasan genial yang
belum dipahami dengan baik oleh penerusnya. Beliau di makamkan di Karangkajen,
Yogyakarta.
Organisasi
wanita di daerah Kauman Yogyakarta sudah ada sejak tahun 1914 M, dengan nama “Sopo
Tresno” yang bergerak dibidang sosial. Berdirinya organisasi wanita
tersebut adalah atas inisiatif KH Ahmad Dahlan dan Nyai Haji Ahmad Dahlan.
Mereka berpendapat bahwa wanita juga mempunyai peranan dan dapat berprestasi
apabila diberi kesempatan. Karena itulah KH Ahmad Dahlan dan Nyai Haji Ahmad
Dahlan mengumpulkan para wanita daereh Kauman untuk mengadakan pengajian. Selain
pengajian mereka juga diberi penerangan tentang pentingnya kaum wanita ikut
serta memikirkan pendidikan masyarakat. Organisasi Sopo Tresno mulai mengasuh
beberapa anak yatim, dan membantu Muhammadiyah dalam bidang sosial dan
pendidikan, pada tahun 1917 “Sopo Tresno” diubah menjadi “Aisyiyah” sebagai
suatu organisasi yang mempunyai peraturan dan pengurus yang tetap. Perubahan
nama tersebut atas anjuran Haji Muchtar (seorang anggota Muhammadiyah).pada
waktu itu Aisyiyah merupakan organisasi yang berdiri sendiri, terlepas dari
Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1923 M, Aisyiyah menjadi bagian atau majelis
dari Muhammadiyah. Dengan pengurus yang terdiri atas : Siti Badriah sebagai
ketua, Siti Badilah sebagai sekretaris, Siti Aminah Barowi sebagai bendahara,
Nyai Haji Abdullah, Siti Dalalah, Nyai Fatimah Wasool, Siti Wadingah, Siti
Dawimah, Siti Busyro, mereka semua sebagai pembantu. Haji Muchtar sebagai pemberi
bimbingan administrasi dan organisasi, dan KH Ahmad Dahlan sebagai pemberi
bimbingan jiwa keagamaan. Sifat organisasi Aisyiyah adalah pembinaan dan
pemeliharaan sesuai ajaran Islam, sesungguhnya muslim berkewajiban mendidik dan
memelihara agama dan akhlaq seluruh keluarga terutama kaum wanita.
Pada
tahun 1918 M, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi gerakan kepanduan “Hisbul
Wathan”. Beliau mendirikan organisasi tersebut setelah melihat kepanduan
Misi Kristen, Jeugd Padvinder Organisatie (JPO), di alun-alun Mangkunegaran,
solo. Maksud didirikan Hisbul Wathan yaitu untuk mendidik para pemuda pecinta
bangsa dan tanah air dengan dasar tuntunan Islam. Pakaian seragam terdiri atas
celana warna biru tua yang berarti lautan, kemeja berwarna coklat berarti
daratan, bertopi bambu melambangkan bagi tanah Indonesia yang kaya raya. Setiap
pandu Hisbul Wathan melilitkan sapu tangan merah pada lehernya, yang berarti
berani membela kebenaran dan tanah airnya. Simbol organisasi ini berbentuk
sekuntum bunga melati. Pengurus pertama organisasi ini yaitu, Muchtar sebagai
ketua, Rajid sebagai wakil ketua, Sumodirjo sebagai sekretaris, dan Abdul Hamid
sebagai bendahara. Hisbul Wathan pernah diajak bergabung dengan Nederlandsche
Indiche Padvinders Vereeniging (NIPV), tapi ajakan ini ditolak oleh Haji
Fahruddin. Alasannya, bahwa Hisbul Wathan sudah mempunyai dasar sendiri yaitu
Islam, dan sudah punya induk sendiri yaitu Muhammadiyah. Oleh sebab itu tidak
perlu diatur oleh Nederlandsche Indische Padvinder yang berbau kolonial.
Setelah
Sarekat Islam berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912 (berasal dari Sarekat
Dagang Islam 1911), KH Ahmad Dahlan masuk partai itu dan aktif di dalamnya, namun
pada tahun 1926 terjadi suatu masalah, Sarekat Islam melarang para anggotanya
untuk masuk Muhammadiyah. Peristiwa ini karena politik adu domba yang dilakukan
oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Secara formal Muhammadiyah memang bukan
partai politik, tetapi seringkali gerakannya bercorak politik. Pada tahun 1924
M, ketika Sarekat Islam diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia dan
kedudukannya dipindahkan ke Yogyakarta, hubungan antara Partai Sarekat Islam
dengan Muhammadiyah erat. Haji Agus Salim ketua Partai Sarekat Islam Indonesia
sangat erat hubungannya dengan Haji Fakhruddin, pemimmpin Muhammadiyah yang
menjabat sebagai bendahara. Namun pada tahun 1926-1927 M, timbul ketegangan
antara Muhammadiyah dengan Partai Sarekat Islam Indonesia. Ketegangan ini
disebabkan oleh fitnah dan hasutan dari pihak ketiga, terutama dari
Pemerintahan Hindia Belanda yang menjalankan politik devide et impera.
Maksudnya agar kekuatan bangsa Indonesia menjadi lemah. Pemerintah Hindia
Belanda merasa takut kalau bangsa Indonesia bersatu lalu melawan Pemerintahan
Hindia Belanda. Ketegangan ini dimulai semenjak Haji Umar Said Cokroaminoto dan
Haji Mansyur pulang dari Makkah mengunjungi Muktamar Alam Islam. Partai Sarekat
Islam Indonesia Randublatung menyebarkan surat tertanggal 13 Agustus 1926
kepada penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. Dalam surat itu dinyatakan bahwa
Muhammadiyah sengaja mematikan Partai Sarekat Islam Indonesia, sebab sudah
terbukti bilamana Muhammadiyah berdiri disitu, Partai Sarekat Islam Indonesia
mengalami kemunduran. Muhammadiyah sering menghasut Partai Sarekat Islam
Indonesia karena berpolitik, dikatakan pula bahwa Muhammadiyah pernah meminta
bantuan uang kepada pabrik gula yang ada di Yogyakarta untuk biaya pengiriman Mubalighin
yang mengajar agama Islam di pabrik gula itu. Selain itu Muhammadiyah dituduh
mendapat subsidi uang sebesar 24 gulden dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada
waktu itu suhu politik di Indonesia sedang menghangat. Timbul perbedaan antara
pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia tentang bagaimana mengambil sikap terhadap
Pemerintah Hindia Belanda, yaitu sikap non-kooperasi atau sikap kooperasi.
Partai Sarekat Islam Indonesia dan Partai Nasional Indonesia menganut sikap
non-kooperasi terhadap Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan Budi Utomo menganut
sikap sebaliknya. Muhammadiyah sebagai organisasi tabligh, sosial, dan
pendidikan tidak pernah menyatakan dirinya non-kooperasi atau kooperasi. Karena
itu Muhammadiyah mau menerima subsidi keuangan dari Pemerintah Hindia Belanda
untuk membiayai sekolahnya, lalu dengan serta merta dikatakan oleh orang luar
sebagai koperator. Istilah non-kooperasi dan kooperasi adalah istilah politik.
Padahal Muhammadiyah tidak mengenal istilah tersebut. Dalam menerima subsidi
itu Muhammadiyah menyadari bahwa subsidi itu sebenarnya berasal dari pajak yang
dibayarkan oleh umat Islam dan kekayaan tanah air Indonesia. Karena hal
tersebut dan untuk mengkristalisasi dirinya sebagai partai politik, maka pada
tahun 1927 M, Partai Sarekat Islam Indonesia menyatakan berlakunya disiplin
partai, yang melarang anggota Partai Sarekat Islam Indonesia tidak boleh
merangkap menjadi anggota Muhammadiyah. Dengan adanya disiplin partai, maka
Haji Fakhruddin keluar dari Partai Sarekat Islam Indonesia, karena lebih
memilih tetap di Muhammadiyah.
Secara
resmi, sejak berdirinya hingga sekarang, Muhammadiyah bukan merupakan partai
politik, namun sepanjang sejarah hidup dan perjuangannya, Muhammadiyah selalu
ikut serta membela kepentingan agama, bangsa dan tanah air. Misalnya mengenai
adanya “Guru Ordonantie” yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Muhammadiyah bersama organisasi lainnya seperti Partai Sarekat Islam
Indonesia, Partai Pendidikan Nasional (PNI Baru), Taman Siswa, Budi Utomo,
Partai Indonesia, dan Isteri Sedar menentang guru ordonantie tersebut.
Berkat perjuangan yang ulet dari organisasi-organisasi tersebut, akhirnya
keluar surat sekretaris gubernemen No: 462 a/A, tanggal 18 Februari 1931
yang isinya membebaskan para mubaligh dari ordonantie guru
tersebut. Pada tahun 1938 M, Muhammadiyah menentang adanya pajak potong hewan
yang dikenakan bagi pemotong hewan qurban di setiap Idul Adha. Tuntutan ini
berhasil dengan tidak dikenakannya pajak bagi pemotong qurban. Di samping itu
Muhammadiyah juga menentang rencana Pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan
ordonantie perkawinan bagi umat Islam. Sebagai anggota dari Al-Madjlisil Islam
A’laa Indonesia (MIAI), Muhammadiyah menyokong tuntutan GAPI (Indonesia
Berparlemen). Protes terhadap campur tangan Pemerintah Hindia Belanda dalam
urusan agama Islam yang dipandang tidak pada tempatnya tersebut dibicarakan
dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 tahun 1932 M di Ujung Pandang. Muhammadiyah
selalu menjaga hidup di luar gelombang politik, tetapi terhadap campur tangan
Pemerintah Hindia Belanda dalam urusan administrasi dan agama, tindakan
Muhammadiyah boleh dikatakan sejalan dengan Partai Sarekat Islam Indonesia.
Padatahun
1932 M, Dr. Sukiman memisahkan diri dari Partai Sarekat Islam Indonesia dan
mendirikan Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1936 M, Haji Agus Salim juga ikut
memisahkan diri dari Partai Sarekat Islam Indonesia dan mendirikan partai baru
dengan nama Penyedar, yang berhaluan kooperasi. Para pemimpin Islam menjadi
sedih dan perihatin melihat Partai Sarekat Islam Indonesia mengalami
perpecahan, lalu ingin mendirikan Partai Islam yang kuat dan mendapat dukungan
dari seluruh umat Islam. Para pemimpin Islam kemudian mengirim surat kepada
Partai Sarekat Islam Indonesia mengenai dua pokok persoalan. Pertama,
supaya Partai Sarekat Islam Indonesia melepaskan sikap non-kooperasi dan
hendaknya non-kooperasi ataupun kooperasi itu dijadikan taktik saja dan jangan
menjadi prinsip yang kaku. Kedua, supaya Disiplin Partai terhadap
Muhammadiyah dicabut. Terhadap pokok pertama, Partai Sarekat Islam Indonesia
tetap menolak dan tidak menyetujui. Sementara terhadap pokok kedua, Partai
Sarekat Islam Indonesia bersedia mempertimbangkannya. Selanjutnya diadakan
beberapa kali persidangan dan yang terakhir yaitu sidang keempat, diadakan di
rumah dr. Satiman pada tanggal 4 Desember 1938 di Solo. Sidang dihadiri para
pemimpin Islam dan para ulama. Pada sidang keempat ini disepakati pembentukan
partai baru bernama Partai Islam Indonesia dengan tujuan mempersiapkan rakyat
Indonesia untuk mencapai kesempurnaan kedudukan agama Islam dan derajat
umatnya.
Pengurus
Partai Islam Indonesia terdiri atas: Wiwoho (ketua), dr. Sukiman Wirwisanjoyo
(Wakil Ketua), Mr. Ahmad Kasmat (Sekretaris I), Wali Alfatah (Sekretaris II),
dr. Sukardi (Bendahara I), Dan Haji Abdul Hamid (Bendahara II). Sementara
anggotanya adalah Haji Mas Mansyur, Haji Hadikusumo, Haji Abdul Kahar Muzakir,
Haji Muhammad Faried, dan Haji Rosyidi BA. Kelihatan jelas, bahwa banyak
tokoh-tokoh Muhammadiyah yang duduk dalam pimpinan Partai Islam Indonesia.
Dalam waktu yang singkat sudah berdiri cabang-cabang di seluruh Indonesia dan
kebanyakan terdiri atas orang-orang Muhammadiyah. Pada tahun 1939 M,
Muhammadiyah sebagai anggota MIAI mengirimkan utusan ke Jepang yang terdiri
atas Prof. Haji Kahar Muzakir, Prof Haji M. Farid Ma’ruf, Mr. Ahmad Kasmat, dan
lain-lain untuk memenuhi undangan The Tokyo Moslem Community and The Dai
Nippon Kaikyo Kyokoi, untuk menghadiri The Islamic Exhibition di
Tokyo dan Osaka.
Ditinjau
dari masa kelahirannya Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang
dilahirkan di masa kebangkitan Nasional bangsa Indonesia. Karena itu
Muhammadiyah membawa sifat-sifat sebagai perintis. Muhammadiyah adalah
organisasi Islam yang dilahirkan sebagai manifastasi dari kehendak dan tuntutan
zaman, di mana zaman kehidupan agama Islam menunjukkan kepudaran dan kesuraman.
Demikian pula umat Islam yang hidup dalam kekolotan dan kebekuan. Karena itu
kelahiran Muhammadiyah bertugas menghilangkan suasana yang penuh kesuraman dan
kepudaran yang menyelimuti kehidupan agama Islam di Indonesia. Ketika diteliti,
maka sebenarnya sebab-sebab KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah adalah
sebagai berikut.
1.
Umat
Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Qur’an dan Hadits, sehingga menyebabkan
merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat. Akibatnya umat Islam
tidak merupakan suatu golongan yang terhormat dalam masyarakat, senada dengan
agama Islam yang tidak lagi memancarkan sinar kemurniannya.
2.
Penjajahan
yang menyebabkan keadaan masyarakat Islam sangat menyedihkan, baik pada
kehidupan politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
3.
Tidak
adanya persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, terjadi akibat dari tidak
tegaknya “Ukhuwwah Islamiya” serta tidak adanya organisasi yang kuat.
4.
Kegagalan
lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam menghasilkan kader-kader Islam, karena
tidak dapat lagi memenuhi tuntutan zaman.
5.
Adanya
tantangan dan sikap acuh tak acuh di kalangan intelektual kita terhadap agama
Islam, yang oleh mereka sudah dianggap kolot.
6.
Adanya
pengaruh dan dorongan gerakan pembaruan dalam dunia Islam.
Sebagai
seorang yang demokratis, KH Ahmad Dahlan juga memfasilitasi kebebasan berpendapat
bagi para anggota Muhammadiyah. Hal ini dilakukan untuk proses evaluasi kerja
dan pemilihan pemimpin. Selama hidup beliau dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diadakan 12 kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai dengan istilah Algemeene Vergadering (persidangan
umum). Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini
melalui melalui pembaruan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkan bahwa KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
dengan surat Keputusan Presiden No. 657 Tahun 1961, pada tanggal27 Desember
1961. Adapun dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut.
1.
KH
Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2.
Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, beliau telah banyak memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsa. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar Iman dan Islam.
3.
Dengan
organisasi beliau, Muhammadiyah telah memelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan
jiwa ajaran Islam.
4.
Dengan
organisasi beliau, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah memelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan befungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.
Pada
era KH Ahmad Dahlan, prinsip-prinsip pembaruan Muhammadiyah meliputi:
1.
Penentuan
arah Makkah yang tepat dan dengan demikian penyesuaian arah kiblat, berbeda
debgan kebiasaan umum untuk shalat ke arah barat.
2.
Penggunaan
Ilmu Astronomi untuk menetapkan mulai dan akhir bulan puasa (hisab), hal
ini berbeda dengan pengamatan visual terhadap pergerakan bulan oleh para
petugas keagamaan.
3.
Diselenggarakannya
shalat Id di lapangan terbuka pada hari-hari besar Islam, Idul Fitri dan Idul
Adha, berbeda dengan shalat tradisional dalam ruang terbatas di masjid-masjid.
4.
Pengumpulan
dan pembagian zakat (zakat fitrah) dan hewan kurban pada hari-hari besar Islam
tersebut oleh panitia khusus yang mewakili masyarakat muslim setempat. Ini
berbeda dengan kebiasaan umum untuk memberi hak istimewa dalam hal ini kepada
para pejabat dan fungsionaris keagamaan (penghulu, naib, kaum, modin, dan
sebagainya).
5.
Penyampaian
khutbah dalam suatu bahasa daerah setelah shalat Jum’at, dan tidak
menyampaikannya dalam bahasa Arab saja.
6.
Penyederhanaan
ritual dan upacara untuk kelahiran, khitanan, pernikahan, dan pemakaman, dengan
menghapuskan unsur-unsur politeistik dari ritual dan upacara tersebut.
7.
Penyederhanaan
bentuk kuburan, yang sebelumnya dihias secara berlebihan.
8.
Tidak
menganjurkannya adanya ziarah ke makam para wali.
9.
Dihilangkannya
anggapan mengenai kesaktian ulama tertentu dan akibat pemujaan yang berlebihan
terhadap mereka.
10.
Digunakannya
kerudung bagi orang dan anak perempuan, dan pemisahan bagi lelaki dan perempuan
dalam pertemuan-pertemuan umum keagamaan.
Maksud
dan tujuan organisasi Muhammadiyah pada waktu permulaan berdirinya, dirumuskan
sebagai berikut.
1.
Menyebarkan
pengajaran agama Nabi Muhammad SAW, kepada Penduduk Bumiputra, didalam
residensi Yogyakarta.
2.
Memajukan
hal agama Islam kepada para anggotanya.
3.
Sesudah
Muhammadiyah berkembang di luar daerah Yogyakarta, dan dibeberapa daerah
wilayah Hindia Belanda sudah berdiri beberapa cabang, maka maksud dan tujuanpun
disempurnakan menjadi:
a.
Memajukan
serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dalam kalangan
sekutu-sekutunya.
b.
Memajukan
serta menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam dalam kalangan
sekutu-sekutunya.
Namun
setelah kemerdekaan tepatnya pada tahun 1950 M, rumusan dan maksud tujuan
disempurnakan. “maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung
tinggi Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya”. Maksud dan tujuannya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.
Menegakkan,
berarti membuat agar tegak dan tidak condong yaitu dengan memegang teguh,
mempertahankan, membela dan memperjuangkan.
2.
Menjunjung
tinggi, berarti membawa atau menjunjung di atas segala-galanya yaitu dengan
cara mengamalkan, mengindahkan, dan menghormatinya.
3.
Agama
Islam, yaitu agama yang dibawa para Rasul sejak Nabi Adam AS, hingga Nabi
Muhammad SAW. Sebagai nabi penutup. Segenap isi ajaran yang dibawa oleh para
Rasul tersebut, sudah tercakup dalam syariat Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW, berupa Al-Qur’an dan Hadits.
4.
Terwujud,
berarti menjadi satu kenyataan akan adanya atau wujudnya.
5.
Masyarakat
Islam, yaitu suatu masyarakat yang di dalamnya terlaksana tuntunan dan ajaran
Islam. Baik bagi kehidupan dan penghidupan pribadinya, keluarganya maupun
secara bersamanya.
6.
Sebenar-benarnya,
berarti yang sungguh-sungguh benar, tidak palsu, bahwa demikianlah keadaan yang
sebenarnya. Kata sebenar-benarnya dicantumkan untuk menghindari adanya anggapan
umum yang salah terhadap beberapa praktik dan kenyataan yang semula dianggap
sebagai masyarakat Islam, semata-mata karena sekelompok orang yang beragama
Islam. Padahal belum tentu menjadi jaminan yang nyata kalau masyarakat yang
beragama Islamkemudian menjadi masyarakat Islam, jika mereka belum dengan
sungguh-sungguh menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam.
Namun
dimasa pendudukan Jepang (1942-1945 M), segala bentuk pergerakan diawasi dengan ketat termasuk Muhammadiyah,
Jepang berusaha mengatur maksud dan tujuan Muhammadiyah. Oleh karena itu maksud
dan tujuan Muhammadiyah disesuaikan dengan kepercayaan untuk mendirikan
kemakmuran bersama seluruh Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, yaitu:
1.
Hendak
menyiarkan Agama Islam, serta melatih hidup yang selaras dengan tuntunannya.
2.
Hendak
melakukan pekerjaan kebaikan umum.
3.
Hendak
memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada
anggota-anggotanya.